JATIMTIMES - Istilah gray divorce belakangan menjadi sorotan publik setelah kabar gugatan cerai yang melibatkan Ridwan Kamil dan sang istri Atalia Praratya, mencuat ke permukaan. Gugatan tersebut diketahui telah terdaftar di Pengadilan Agama Bandung dan dijadwalkan menjalani sidang perdana pada Rabu, 17 Desember 2025.
Meski hingga kini belum ada keterangan resmi mengenai pokok perkara gugatan tersebut, banyak warganet mulai mengaitkan kasus ini dengan fenomena gray divorce, sebuah tren perceraian yang terjadi di usia lanjut. Lantas, apa sebenarnya yang dimaksud dengan gray divorce?
Baca Juga : Dishub Kota Malang Masih Tunggu Arahan Pusat untuk Rekayasa Lalu Lintas Nataru 2025
Pengertian Gray Divorce
Gray divorce adalah istilah yang merujuk pada perceraian atau perpisahan pasangan suami istri yang terjadi di usia 50 tahun ke atas. Pasangan yang mengalami gray divorce umumnya telah menjalani pernikahan dalam jangka waktu yang sangat panjang, bahkan bisa mencapai puluhan tahun.
Berbeda dengan perceraian di usia muda yang kerap dipicu oleh konflik besar seperti perselingkuhan, kekerasan dalam rumah tangga, atau masalah ekonomi, perceraian di usia lanjut lebih sering dipengaruhi oleh akumulasi persoalan yang menumpuk selama bertahun-tahun.
Mengapa Gray Divorce Semakin Meningkat?
Meningkatnya kasus perceraian lansia tidak terjadi begitu saja. Sejumlah perubahan sosial, ekonomi, dan psikologis turut berperan dalam fenomena ini. Berikut beberapa faktor utama penyebab gray divorce yang banyak dibahas oleh para peneliti hubungan dan keluarga seperti dilansir dari Women's Health:.
1. Dampak Revolusi Perceraian Era 1970-an
Generasi Baby Boomers, yakni mereka yang lahir antara 1946 hingga 1964, tercatat sebagai kelompok dengan angka gray divorce tertinggi. Hal ini tidak terlepas dari perubahan besar pada era 1970-an, ketika perceraian mulai diterima secara sosial dan dipermudah secara hukum.
Pada masa tersebut, perempuan juga memperoleh akses yang lebih luas terhadap pendidikan dan kemandirian finansial, terutama setelah disahkannya kebijakan seperti Title IX (1972) dan Equal Credit Opportunity Act (1974). Kondisi ini memberi perempuan ruang untuk keluar dari pernikahan yang tidak lagi membahagiakan.
2. Pernikahan Kedua Lebih Rentan Retak
Banyak individu yang bercerai di usia muda kemudian membangun pernikahan kedua. Namun, data menunjukkan bahwa pernikahan kedua cenderung lebih rapuh. Pengalaman perceraian sebelumnya membuat pandangan terhadap pernikahan menjadi lebih fleksibel, sehingga ambang batas untuk berpisah pun lebih rendah dibanding pernikahan pertama.
3. Harapan Hidup yang Semakin Panjang
Baca Juga : Aksi Terekam CCTV, Pria 56 Tahun Gagal Bobol Kotak Amal Mushola di Rejotangan
Peningkatan angka harapan hidup juga menjadi faktor penting. Jika pada tahun 1960 rata-rata usia harapan hidup berada di kisaran 70 tahun, angka tersebut meningkat menjadi lebih dari 77 tahun pada 2022.
Dengan usia hidup yang lebih panjang, banyak orang merasa enggan menghabiskan sisa hidupnya dalam hubungan yang tidak lagi sehat atau membahagiakan. Bagi sebagian perempuan, pernikahan di usia lanjut juga sering diidentikkan dengan peran sebagai perawat pasangan yang sakit, yang bisa menjadi beban emosional jika hubungan sudah tidak harmonis.
4. Perubahan Individu Seiring Waktu
Setiap orang terus mengalami perkembangan sepanjang hidupnya. Perubahan nilai, tujuan hidup, dan cara pandang sering kali membuat pasangan merasa tidak lagi sejalan.
Dalam banyak kasus gray divorce, tidak ditemukan konflik besar atau perselingkuhan. Perceraian justru terjadi karena pasangan menyadari bahwa mereka telah tumbuh ke arah yang berbeda dan tidak lagi menemukan kecocokan satu sama lain.
Gray divorce kini menjadi fenomena global yang semakin sering dibicarakan, termasuk di Indonesia. Kasus yang menyeret figur publik turut membuka diskusi lebih luas mengenai dinamika pernikahan di usia lanjut dan pentingnya kesehatan emosional dalam hubungan jangka panjang.
