Jatim Times Network Logo
Poling Pilkada 2024 Agama Ekonomi Gaya Hukum dan Kriminalitas Kesehatan Kuliner Olahraga Opini Otomotif Pemerintahan Pendidikan Peristiwa Politik Profil Ruang Mahasiswa Ruang Sastra Selebriti Tekno Transportasi Wisata
Poling Pilkada 2024
Peristiwa

Haul Mbah Moedjair: Dari Muara Sungai Serang, Jadi Simbol Pembangunan Blitar

Penulis : Aunur Rofiq - Editor : Yunan Helmy

07 - Sep - 2025, 14:14

Placeholder
Bupati Rijanto bersama keluarga besar Mbah Moedjair saat mengikuti doa bersama haul ke-68 di Desa Papungan, Kecamatan Kanigoro, Kabupaten Blitar. (Foto: Prokopim Pemkab Blitar)

JATIMTIMES – Pagi itu, Sabtu 6 September 2025, halaman makam Desa Papungan, Kecamatan Kanigoro, Kabupaten Blitar, dipenuhi lantunan ayat suci. Puluhan orang bersarung dan berpeci duduk bersila. Sementara perempuan berjilbab tampak khusyuk menundukkan kepala.

Acara itu Haul Ke-68 Mbah Moedjair yang digelar dengan khidmat, menghadirkan doa bersama dan khatmil Quran. Di antara para hadirin, tampak Bupati Blitar Drs H Rijanto MM ikut larut dalam doa, meneguhkan penghormatan kepada sosok sederhana yang karyanya telah mengangkat nama Blitar di panggung nasional.

Baca Juga : Dari Lapangan Yonif 511/DY Blitar ke Podium Juara: Lettu Puji dan Kecanduan Sehat Bernama Tenis

Dalam sambutannya, Bupati Rijanto menegaskan bahwa Mbah Moedjair bukan hanya penemu ikan, melainkan penoreh sejarah. “Penemuan ikan laut yang bisa hidup di air tawar ini telah membawa nama Blitar dikenal seantero negeri. Ikan mujair adalah kebanggaan daerah kita, dan sudah seharusnya kita terus menjaganya,” ujar Rijanto. 

Ia menambahkan, masyarakat Blitar harus konsisten memopulerkan nama mujair, bukan sekadar sebagai komoditas perikanan, melainkan juga sebagai identitas daerah.

Sejarah mencatat, penemuan ikan mujair terjadi di muara Sungai Serang, Blitar selatan, pada 25 Maret 1936. Saat itu, seorang lelaki desa bernama Iwan Dalauk, kelahiran Desa Kuningan tahun 1890, sedang menjala ikan. Pandangannya tertarik pada perilaku seekor induk ikan yang menelan anak-anaknya ketika terancam, lalu memuntahkannya kembali ketika merasa aman. Dari keunikan itu, lahir tekad untuk memelihara dan mengembangbiakkan ikan tersebut.

Perjalanan membudidayakan ikan ini tidaklah mudah. Iwan Dalauk yang kemudian dikenal dengan nama Mbah Moedjair melakukan serangkaian percobaan untuk mengubah habitat asli ikan yang biasa hidup di air asin agar dapat hidup di air tawar. Ia menggunakan gentong sebagai wadah percobaan, dengan cara menurunkan kadar campuran air asin sedikit demi sedikit. Setelah sepuluh kali percobaan gagal, barulah pada percobaan ke sebelas ia berhasil mendapatkan empat ekor ikan yang benar-benar mampu bertahan hidup di air tawar.

Empat ekor ikan inilah yang menjadi cikal bakal keberhasilan budidaya ikan mujair. Dari kolam sederhana di halaman rumahnya, hasil perkembangbiakan itu disebar kepada tetangga, sebagian lagi dijual, hingga akhirnya ikan mujair menyebar luas. Kini, ikan yang dahulu hanya ditemukan di muara Sungai Serang itu dapat dijumpai di kolam, telaga, sungai, bahkan danau di seluruh penjuru Indonesia.

Penghargaan atas jasa besar Mbah Moedjair datang dari berbagai pihak. Pemerintah Hindia Belanda melalui asisten residen Kediri memberikan penghormatan dengan menamai ikan hasil temuannya sebagai “Moedjair”, sesuai dengan nama sang penemu.

Setelah Indonesia merdeka, Kementerian Pertanian juga menganugerahkan penghargaan pada tahun 1951. Dua tahun kemudian, pada 1953, apresiasi serupa datang dari tingkat internasional ketika Konsul Komite Perikanan Indo Pasifik turut mengakui keberhasilan Mbah Moedjair dalam dunia perikanan.

Dari kegigihan seorang nelayan desa yang bersahaja, lahirlah inovasi yang mampu mengubah wajah perikanan Indonesia. Ikan mujair bukan sekadar bahan pangan, tetapi juga bukti bahwa rasa ingin tahu, ketekunan, dan kerja keras bisa melahirkan warisan yang abadi.

Nama Iwan Dalauk perlahan dilupakan, digantikan panggilan akrabnya: Mbah Moedjair atau Pak Mujair. Ia wafat tahun 1957 akibat sakit asma, dimakamkan di Desa Papungan, Kecamatan Kanigoro, Kabupaten Blitar. Namun warisannya tetap hidup. Dari Sungai Serang, Mujair menyebar ke kolam-kolam, tambak, hingga meja makan rumah tangga. Popularitas ikan ini bahkan melampaui batas daerah.

Baca Juga : Lodoyo Blitar: Kedaton Macan dan Misteri Pusaka Suroloyo

Haul ke-68 ini tak sekadar ritual mengenang leluhur, tetapi juga peneguhan makna Mujair sebagai simbol pembangunan Blitar. Bupati Rijanto mengingatkan, potensi perikanan air tawar bisa menjadi motor penggerak ekonomi masyarakat. Menurut dia, dengan branding yang tepat, Mujair dapat dipasarkan tidak hanya sebagai produk konsumsi, melainkan juga ikon wisata kuliner dan budaya. “Jangan hanya berhenti pada cerita sejarahnya. Mujair harus kita dorong menjadi kekuatan ekonomi dan identitas Blitar. Ketika orang makan Mujair, mereka harus ingat Blitar,” ujarnya.

Pernyataan itu menggarisbawahi arah pembangunan Blitar yang menggabungkan potensi lokal dengan semangat inovasi. “Ketika orang mendengar mujair, pikiran mereka harus tertuju ke Blitar. Itulah kekuatan identitas daerah,” imbuh Rijanto.

Mbah Moedjair telah tiada tujuh dekade lalu, namun haul tiap tahun menjadi titik temu sejarah, budaya, dan pembangunan. Doa bertemu gagasan masa depan; dari nelayan desa lahir simbol identitas yang abadi.

Haul ke-68 ditutup dengan tabur bunga. Bupati Rijanto menunduk khusyuk, menaburkan bunga, seakan memberi hormat pada rakyat kecil yang karyanya melampaui zaman.

Dari Sungai Serang, Mujair lahir. Dari Blitar, ia menyebar. Kini, ikan itu bukan sekadar pangan, tapi perekat. Pesannya jelas: pembangunan bisa lahir dari tangan nelayan yang menjaga rasa ingin tahu.

 


Topik

Peristiwa Mbah Moedjair mujair ikan mujair sejarah ikan mujair Blitar



JatimTimes Media Terverifikasi Dewan Pers

UPDATE BERITA JATIM TIMES NETWORK

Indonesia Online. Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari JatimTIMES.com dengan klik Langganan Google News Jatimtimes atau bisa menginstall aplikasi Situbondo Times News melalui Tombol Berikut :


Penulis

Aunur Rofiq

Editor

Yunan Helmy