JATIMTIMES - Di tengah hiruk pikuk dunia digital dan derasnya arus teknologi kecerdasan buatan (AI), sastra masih berusaha meneguhkan pijakannya. Namun, pandangan sebagian anak muda yang menilai prospek karier di bidang sastra “kurang menjanjikan” menjadi tantangan tersendiri bagi para pegiat literasi.
Denny Misharudin, Koordinator Komunitas Pelangi Sastra Malang, mengungkapkan bahwa anggapan tersebut memang sering terdengar. “Anak-anak muda banyak yang menganggap sastra itu tidak punya prospek karir yang jelas. Padahal, faktanya tidak sesederhana itu,” ujarnya saat diwawancarai di UB belum lama ini.
Baca Juga : Permenpora 14/2024 Dicabut, Puguh DPRD Jatim: Ini Angin Segar untuk Olahraga Indonesia
Menurutnya, dunia sastra memiliki jalur yang beragam. Ada penulis yang bisa hidup penuh dari karya, ada pula yang menulis sambil tetap bekerja di bidang lain. “Jangan digeneralisasi bahwa hidup dari menulis itu mustahil. Banyak penulis tetap bisa berkarya meskipun sumber penghasilannya tidak semata-mata dari sastra,” tegasnya.
Denny menilai kehadiran Majelis Talenta Nasional (MTN) menjadi peluang penting untuk mendorong adanya jenjang karier yang lebih jelas di bidang kebudayaan, termasuk sastra. MTN, yang berada langsung di bawah presiden, dinilai bisa membuka ruang pemetaan dan penguatan ekosistem sastra agar lebih terstruktur. “Harapannya ada jenjang yang jelas bagi penulis. Jadi orang bisa melihat sastra bukan sekadar hobi, tetapi juga jalan karier yang mungkin ditempuh,” tambahnya.
Meski kerap dipandang sebelah mata, ekosistem sastra di Malang Raya justru menunjukkan geliat positif. Denny menyebutkan, hampir setiap pekan selalu ada komunitas literasi yang menggelar diskusi, membaca bersama, hingga membedah buku, baik fiksi, nonfiksi, maupun karya sastra. “Komunitas literasi di Malang itu hidup. Bahkan kalau bukan komunitas sastra pun, mereka tetap membicarakan buku, termasuk karya sastra,” tuturnya.
Produksi karya juga terbilang cukup tinggi. Banyak penulis muda Malang yang menerbitkan buku melalui jalur self-publishing, indie, atau bahkan memproduksi zine secara mandiri untuk dibagikan di lingkar komunitas. Meski jumlah penerbit indie di Malang tidak banyak, eksistensi mereka cukup mewakili daerah ini dalam peta sastra nasional.
Lalu bagaimana dengan tantangan digitalisasi dan kehadiran AI? Menurut Denny, teknologi bukanlah lawan, melainkan kawan yang bisa disandingkan dengan sastra. “Di era AI ini seharusnya kita bisa bersanding, bukan merasa terancam. Minat orang terhadap sastra tetap ada, tidak serta-merta hilang hanya karena ada teknologi baru,” ujarnya.
Baca Juga : Hanura Jatim Usulkan Digital Vote untuk Pemilu 2029 dan 2031
Ia menekankan bahwa teknologi justru bisa menjadi medium baru bagi sastra untuk menjangkau pembaca yang lebih luas. Namun, ruh utama sastra tetaplah pada manusianya, pada pengalaman, kepekaan, dan keresahan yang dituangkan lewat kata-kata.
Dengan berbagai dinamika tersebut, Denny berharap generasi muda tidak cepat menutup diri pada dunia sastra hanya karena stigma “tidak menjanjikan”. Menurutnya, menulis adalah jalan panjang yang tidak bisa diukur hanya dengan nominal. “Sastra itu jalan keberanian, jalan untuk tetap menyalakan suara. Soal karier, peluang selalu ada selama kita mau terus menulis dan berjejaring,” pungkasnya.