Dua Istri Gajah Mada: Jejak Historis dalam Prasasti dan Folklor

Reporter

Aunur Rofiq

Editor

Yunan Helmy

18 - Dec - 2024, 12:58

Ilustrasi Gajah Mada bersama dua istri, Ni Luh Ayu dan Ken Bebed, yang dikisahkan dalam Prasasti Aria Bebed. Visualisasi ini dibuat menggunakan teknologi AI oleh JatimTIMES.

JATIMTIMES - Nama Gajah Mada senantiasa terukir dalam sejarah Nusantara sebagai tokoh sentral di balik kejayaan Majapahit pada abad ke-14. Sebagai mahapatih yang berambisi menyatukan Nusantara melalui Sumpah Palapa, Gajah Mada kerap kali digambarkan sebagai sosok pemimpin yang berdedikasi, penuh perhitungan, namun misterius dalam aspek kehidupan pribadinya.

Jejak kehidupannya tersebar dalam berbagai naskah kuno seperti Pararaton dan Negarakertagama, prasasti sejaman, serta cerita rakyat yang turun-temurun diwariskan.

Baca Juga : Abah Gun Resmi Dipecat dari PDIP, Bersamaan dengan Jokowi, Gibran, dan Bobby

Namun, di luar ketokohannya sebagai politikus ulung, sedikit yang membahas sisi personal Gajah Mada, khususnya kehidupan keluarganya. Di sinilah Prasasti Aria Bebed, prasasti yang ditemukan di Bali, memberikan warna baru. Prasasti ini menyebut dua wanita yang diyakini sebagai istri Gajah Mada: Ni Luh Ayu dan Ken Bebed. Namun, validitas kisah ini tetap menjadi teka-teki besar dalam historiografi Nusantara.

Prasasti Aria Bebed: Sumber Kisah

Prasasti Aria Bebed atau dikenal juga dengan Prasasti Bebed adalah sumber utama yang mencatat kisah dua istri Gajah Mada. Prasasti ini bertanggal 1881 Saka (1956 Masehi), sebuah angka yang menimbulkan tanda tanya. Jika dilihat dari rentang waktu, prasasti ini dibuat lebih dari 600 tahun setelah kematian Gajah Mada. Artinya, narasi yang tertulis dalam prasasti ini berpotensi besar telah mengalami distorsi, baik melalui penafsiran ulang maupun pengaruh folklor lokal.

Meski demikian, pentingnya Prasasti Aria Bebed terletak pada upayanya merawat memori kolektif tentang figur Gajah Mada. Dalam prasasti ini, dua nama wanita mencuat: Ni Luh Ayu dan Ken Bebed.

Ni Luh Ayu: Perkawinan di Tanah Dewata

Menurut prasasti, ketika Gajah Mada tinggal di Bali—kemungkinan besar dalam rangka menjalankan misi politik Majapahit—ia menikahi seorang wanita Bali bernama Ni Luh Ayu. Perkawinan ini agaknya bersifat sementara, atau dalam istilah lain, perkawinan politik yang kerap terjadi pada masa kerajaan untuk membangun aliansi. Namun, kisah ini berujung tragis. Ketika Gajah Mada kembali ke Majapahit, ia meninggalkan Ni Luh Ayu tanpa menyadari bahwa istrinya sedang mengandung.

Anak dari pernikahan ini kemudian dibesarkan oleh Ni Luh Ayu seorang diri di Bali. Dalam narasi ini, sosok Gajah Mada digambarkan bukan hanya sebagai seorang Mahapatih yang tegas dan dingin, tetapi juga manusia biasa dengan keterbatasannya. Kehidupan politik yang sibuk membuatnya meninggalkan urusan personal—sebuah konsekuensi dari ambisi dan dedikasinya pada Majapahit.

Anak tersebut, yang tidak disebutkan namanya dalam prasasti, tumbuh dengan rasa penasaran akan sosok ayahnya. Ketika dewasa, ia memaksa ibunya untuk membuka identitas sang ayah. Dengan berat hati, Ni Luh Ayu mengungkapkan bahwa ayah kandungnya adalah Gajah Mada, Mahapatih Agung Majapahit.

Dengan tekad yang kuat, anak Ni Luh Ayu merantau ke Jawa untuk menemui ayahnya. Kisah perjalanannya menyerupai dongeng anak yang mencari ayah, sebuah tema yang sering muncul dalam folklore di berbagai belahan dunia. Sesampainya di Majapahit, pemuda itu menghadapi tembok pembatas antara dirinya dan Gajah Mada—secara literal dan simbolis. Rumah Gajah Mada dijaga ketat oleh prajurit, dan sang pemuda hanya bisa duduk termenung di depan rumah sang Mahapatih.

Adegan puncak dalam kisah ini terjadi ketika pemuda tersebut diusir dan diejek oleh para prajurit. Tangisannya yang keras menarik perhatian Gajah Mada. Sang Mahapatih keluar rumah dan bertanya tentang maksud kedatangan pemuda itu. Setelah mendengar penuturan pemuda tersebut, Gajah Mada menyadari bahwa ia sedang berhadapan dengan darah dagingnya sendiri.

Di sinilah Gajah Mada menunjukkan sisi kemanusiaannya. Ia mengakui anak tersebut sebagai putranya, dan membawanya masuk ke dalam rumah. Pertemuan itu bukan hanya rekonsiliasi antara ayah dan anak, tetapi juga pengakuan terhadap kesalahan masa lalu—sebuah sisi manusiawi yang jarang muncul dalam catatan sejarah Gajah Mada.

Ken Bebed: Istri Tanpa Keturunan

Baca Juga : Harpitnas 27 Desember Apakah Termasuk Cuti Bersama? 

Tokoh kedua yang disebut dalam Prasasti Aria Bebed adalah Ken Bebed, istri Gajah Mada di Majapahit. Berbeda dengan Ni Luh Ayu, hubungan Gajah Mada dengan Ken Bebed tampaknya lebih stabil dan diakui secara resmi. Namun, pasangan ini tidak dikaruniai keturunan. Kedatangan pemuda dari Bali menjadi angin segar dalam kehidupan Ken Bebed. Ia menerima pemuda tersebut dengan penuh kasih dan kebahagiaan, menganggapnya sebagai anak yang selama ini tidak pernah ia miliki.

Gajah Mada kemudian memberi nama anak itu Arya Bebed, sebuah penghormatan yang merujuk pada nama istrinya. Nama ini menarik untuk dicermati, karena bisa saja merupakan strategi simbolik Gajah Mada untuk mengintegrasikan masa lalunya dengan masa kini—sebuah penyatuan antara Bali dan Majapahit melalui nama Arya Bebed.

Kritik Terhadap Validitas Prasasti

Meskipun kisah ini menarik, historiografi kritis harus mempertanyakan validitas Prasasti Aria Bebed. Dengan usia yang tergolong “muda” (dibuat pada abad ke-20), prasasti ini berisiko besar dipengaruhi oleh imajinasi masyarakat Bali saat itu. Kemungkinan besar, cerita ini adalah hasil konstruksi ulang atau folklorisasi yang bertujuan melestarikan memori kolektif tentang sosok Gajah Mada.

Namun demikian, kisah ini tetap memiliki nilai penting. Pertama, ia memperkaya narasi tentang Gajah Mada di luar peran politiknya. Kedua, kisah ini mencerminkan bagaimana figur historis diinterpretasi ulang sesuai konteks sosial-budaya setempat. Dalam hal ini, masyarakat Bali mungkin ingin menunjukkan ikatan historis dengan Majapahit melalui tokoh Gajah Mada.

 Antara Sejarah dan Legenda

Kisah dua istri Gajah Mada—Ni Luh Ayu dan Ken Bebed—adalah narasi yang berada di antara fakta sejarah dan legenda rakyat. Bagi penulis, mengkaji kisah semacam ini bukanlah tentang mencari “kebenaran absolut”, melainkan memahami bagaimana sejarah ditafsirkan dan diwariskan dari generasi ke generasi. Fakta bahwa Prasasti Aria Bebed muncul ratusan tahun setelah era Gajah Mada menunjukkan upaya kolektif masyarakat untuk mengisi kekosongan dalam narasi besar tentang sang Mahapatih.

Gajah Mada tetap menjadi figur yang sulit ditembus dalam sejarah Nusantara. Kisahnya bagaikan mosaik yang terdiri dari fakta, mitos, dan interpretasi kultural. Kisah tentang dua istrinya—jika memang benar adanya—membawa kita pada sisi manusiawi Gajah Mada, seorang pemimpin yang tak luput dari dilema personal di tengah ambisi besarnya menyatukan Nusantara.

Dengan demikian, antara kritik historis dan apresiasi terhadap narasi budaya, kisah dua istri Gajah Mada mengajarkan kita satu hal penting: bahwa sejarah tidak hanya tentang fakta, tetapi juga tentang bagaimana sebuah generasi membentuk ingatan mereka terhadap masa lalu.